Kelas sosial di Indonesia ternyata cuma tiga tingkat. Di urutan teratas ada kelas pejabat yang posisinya tentu tak bisa diganggu gugat.
Di peringkat kedua kelas konglomerat. Inilah kelas yang memiliki dana raksasa dan pengaruh yang kuat. Dan, kelas yang paling bawah ditempati oleh rakyat. Sebagian besar rakyat negeri ini semenjak dulu telah terbiasa melarat.
Seperti sebuah tangga, kesenjangan kelas sosial itu tentu saja berbeda tingkat. Persaingan antarkelas takkan pernah terjadi karena hidup ini sama sekali bukanlah panggung Srimulat.
Rakyat jangan sok-sokan menggugat pejabat dan konglomerat. Rakyat mesti sadar bahwa dunia tidak adil karena aturan main yang berlaku adalah ”siapa cepat, dia dapat”.
Dua kelas teratas yang unggul terus-menerus sejak era Orde Baru adalah pejabat dan konglomerat. Mereka yang paling kuat dan—saking bahagianya— sering berdoa mudah-mudahan dunia tidak akan pernah kiamat.
Mereka sudah terlalu lama berkuasa dan terasa seperti telah berabad-abad. Hati nurani mereka telah lama hilang, hanya menyisakan kebiasaan nekat dan mudarat.
Setiap pejabat selalu menganggap penampilan dirinya nyaris tanpa cacat. Si pejabat juga merasa dirinya sangat hebat dalam semua urusan. Pidato politik dan ekonominya dia nilai sangat memikat hati rakyat.
Si pejabat pandai berdebat dan janji-janjinya serba hebat. Saking kagumnya, mulut si rakyat menganga besar sampai tak sadar bahwa ternyata ia sudah menelan seekor lalat.
Si pejabat berjanji tidak akan berkunjung ke luar negeri dalam waktu tertentu. Namun, ternyata dia melanglang buana seperti burung yang sudah tak mau lagi menclok di darat.
Kelas konglomerat dan pejabat senantiasa berhubungan erat. Mereka berdua ibarat sepasang suami-istri yang baru menjalani bulan madu ke Eropa Barat.
Kelas konglomerat memiliki hobi menyuap atau menyogok para pejabat. Tujuan mereka tentu untuk mendapatkan proyek infrastruktur, mulai dari membangun jalan tol sampai rumah untuk rakyat. Kasihan si rakyat tak pernah mendapat tempat. ”Kok hidupku susah amat?” demikian keluh si rakyat melarat.
Sudah banyak pejabat Orde Reformasi yang benar-benar kelewatan karena tega-teganya mengorupsi Dana Abadi Umat (DAU). Rakyat sering menyumpahi pejabat agar kualat, tetapi tampaknya pejabat memang tak pernah tobat.
Kalau masuk ke pengadilan, anak-anak bekas pejabat tidak boleh dijatuhi hukuman penjara yang terlalu berat. Padahal, mereka menghilangkan nyawa manusia dengan menyewa pembunuh bayaran atau ketika dalam keadaan mabuk berat.
Kalau konglomerat koperasi diadili, vonis pengadilan dengan mudah bisa disunat. Waktu pejabat mau dijebloskan penjara ia malahan berpura-pura badannya tidak sehat.
Kalau rakyat mencuri ayam atau sepeda motor diadili, dunia mereka pasti serasa telah kiamat. Rakyat biasanya pasrah dan hanya menggumam, ”Ya, apa boleh buat....”
TAK perlu marah kalau rakyat ingin mengkritisi pejabat di negeri ini. Setiap kritik bertujuan memperbaiki nasib rakyat di republik ini.
Tidak semua pejabat yang tidak tahu diri. Amat banyak pejabat yang bekerja keras dan mau mengorbankan diri.
Nah, amati baik-baik malapetaka demi malapetaka yang terjadi akhir-akhir ini. Semua bencana itu membuat hati rakyat menjadi sedih. Badan rasanya tidak enak setiap kali habis bangun pagi. Lidah sudah terlalu kelu untuk menikmati secangkir kopi. Pikiran kita kehilangan orientasi. Apalagi setelah selesai menyantap isi koran atau sehabis menyaksikan tayangan berita pagi di televisi. Berita hangat terakhir adalah mengenai korupsi dana untuk ibadah haji. Ternyata banyak sekali pejabat kita yang menikmati DAU secara sembunyi-sembunyi. Sementara rakyat kalau menunaikan ibadah haji membayar dengan uang sendiri. Rakyat yang sudah bergelar haji telah telanjur ikhlas karena toh uang mereka tidak akan pernah kembali. Padahal, kesulitan hidup menempa rakyat hampir setiap hari. Anda pasti bosan mengingat-ingat deretan bencana dan wabah yang datang bertubi-tubi dan tanpa permisi. Namun, tampaknya pejabat tidak pernah tahu diri. Sementara di Tangerang ada wabah muntaber, di silang Monas malah ada yang berpesta dengan kembang api.
Pejabat mengajak masyarakat bersama menghemat energi meskipun harga BBM sudah naik berkali-kali. Rakyat pun segera bisa memahami. Pejabat nomor satu ternyata sering berselisih paham dengan pejabat nomor dua, namun rakyat sudah tidak peduli. Pejabat atasan menyita kaset rekaman pejabat bawahan, rakyat merasa khawatir kondisi politik sudah tidak lagi terkendali. Beberapa mantan pejabat berkumpul untuk membahas nasib bangsa ini. Eh, ada yang curiga seolah-olah pertemuan itu mesti diwaspadai. Sebentar lagi pejabat yang satu itu akan pergi ke luar negeri lagi. Mulut rakyat pun akan menganga dan kemasukan lalat kembali.
Pejabat sering mengimbau agar rakyat jangan begitu dan seharusnya begini. Rakyat rasanya sih langsung mengerti.
Pejabat minta rakyat menghemat listrik yang tarifnya mahal sekali. Rakyat pun segera peduli. Pejabat mau menjual potensi minyak bumi di Blok Cepu ke Amerika Serikat (AS), rakyat saling bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi? Pejabat mau membangun jalan-jalan tol dengan modal Perpres No 36/2005, maka tanah rakyat digusuri.
Pejabat sering mematut diri. Rakyat sabar, rela berkorban, dan selalu berbesar hati.
Ah, lebih baik sajak ini saya akhiri. Nanti ada yang sakit hati lagi.
Di peringkat kedua kelas konglomerat. Inilah kelas yang memiliki dana raksasa dan pengaruh yang kuat. Dan, kelas yang paling bawah ditempati oleh rakyat. Sebagian besar rakyat negeri ini semenjak dulu telah terbiasa melarat.
Seperti sebuah tangga, kesenjangan kelas sosial itu tentu saja berbeda tingkat. Persaingan antarkelas takkan pernah terjadi karena hidup ini sama sekali bukanlah panggung Srimulat.
Rakyat jangan sok-sokan menggugat pejabat dan konglomerat. Rakyat mesti sadar bahwa dunia tidak adil karena aturan main yang berlaku adalah ”siapa cepat, dia dapat”.
Dua kelas teratas yang unggul terus-menerus sejak era Orde Baru adalah pejabat dan konglomerat. Mereka yang paling kuat dan—saking bahagianya— sering berdoa mudah-mudahan dunia tidak akan pernah kiamat.
Mereka sudah terlalu lama berkuasa dan terasa seperti telah berabad-abad. Hati nurani mereka telah lama hilang, hanya menyisakan kebiasaan nekat dan mudarat.
Setiap pejabat selalu menganggap penampilan dirinya nyaris tanpa cacat. Si pejabat juga merasa dirinya sangat hebat dalam semua urusan. Pidato politik dan ekonominya dia nilai sangat memikat hati rakyat.
Si pejabat pandai berdebat dan janji-janjinya serba hebat. Saking kagumnya, mulut si rakyat menganga besar sampai tak sadar bahwa ternyata ia sudah menelan seekor lalat.
Si pejabat berjanji tidak akan berkunjung ke luar negeri dalam waktu tertentu. Namun, ternyata dia melanglang buana seperti burung yang sudah tak mau lagi menclok di darat.
Kelas konglomerat dan pejabat senantiasa berhubungan erat. Mereka berdua ibarat sepasang suami-istri yang baru menjalani bulan madu ke Eropa Barat.
Kelas konglomerat memiliki hobi menyuap atau menyogok para pejabat. Tujuan mereka tentu untuk mendapatkan proyek infrastruktur, mulai dari membangun jalan tol sampai rumah untuk rakyat. Kasihan si rakyat tak pernah mendapat tempat. ”Kok hidupku susah amat?” demikian keluh si rakyat melarat.
Sudah banyak pejabat Orde Reformasi yang benar-benar kelewatan karena tega-teganya mengorupsi Dana Abadi Umat (DAU). Rakyat sering menyumpahi pejabat agar kualat, tetapi tampaknya pejabat memang tak pernah tobat.
Kalau masuk ke pengadilan, anak-anak bekas pejabat tidak boleh dijatuhi hukuman penjara yang terlalu berat. Padahal, mereka menghilangkan nyawa manusia dengan menyewa pembunuh bayaran atau ketika dalam keadaan mabuk berat.
Kalau konglomerat koperasi diadili, vonis pengadilan dengan mudah bisa disunat. Waktu pejabat mau dijebloskan penjara ia malahan berpura-pura badannya tidak sehat.
Kalau rakyat mencuri ayam atau sepeda motor diadili, dunia mereka pasti serasa telah kiamat. Rakyat biasanya pasrah dan hanya menggumam, ”Ya, apa boleh buat....”
TAK perlu marah kalau rakyat ingin mengkritisi pejabat di negeri ini. Setiap kritik bertujuan memperbaiki nasib rakyat di republik ini.
Tidak semua pejabat yang tidak tahu diri. Amat banyak pejabat yang bekerja keras dan mau mengorbankan diri.
Nah, amati baik-baik malapetaka demi malapetaka yang terjadi akhir-akhir ini. Semua bencana itu membuat hati rakyat menjadi sedih. Badan rasanya tidak enak setiap kali habis bangun pagi. Lidah sudah terlalu kelu untuk menikmati secangkir kopi. Pikiran kita kehilangan orientasi. Apalagi setelah selesai menyantap isi koran atau sehabis menyaksikan tayangan berita pagi di televisi. Berita hangat terakhir adalah mengenai korupsi dana untuk ibadah haji. Ternyata banyak sekali pejabat kita yang menikmati DAU secara sembunyi-sembunyi. Sementara rakyat kalau menunaikan ibadah haji membayar dengan uang sendiri. Rakyat yang sudah bergelar haji telah telanjur ikhlas karena toh uang mereka tidak akan pernah kembali. Padahal, kesulitan hidup menempa rakyat hampir setiap hari. Anda pasti bosan mengingat-ingat deretan bencana dan wabah yang datang bertubi-tubi dan tanpa permisi. Namun, tampaknya pejabat tidak pernah tahu diri. Sementara di Tangerang ada wabah muntaber, di silang Monas malah ada yang berpesta dengan kembang api.
Pejabat mengajak masyarakat bersama menghemat energi meskipun harga BBM sudah naik berkali-kali. Rakyat pun segera bisa memahami. Pejabat nomor satu ternyata sering berselisih paham dengan pejabat nomor dua, namun rakyat sudah tidak peduli. Pejabat atasan menyita kaset rekaman pejabat bawahan, rakyat merasa khawatir kondisi politik sudah tidak lagi terkendali. Beberapa mantan pejabat berkumpul untuk membahas nasib bangsa ini. Eh, ada yang curiga seolah-olah pertemuan itu mesti diwaspadai. Sebentar lagi pejabat yang satu itu akan pergi ke luar negeri lagi. Mulut rakyat pun akan menganga dan kemasukan lalat kembali.
Pejabat sering mengimbau agar rakyat jangan begitu dan seharusnya begini. Rakyat rasanya sih langsung mengerti.
Pejabat minta rakyat menghemat listrik yang tarifnya mahal sekali. Rakyat pun segera peduli. Pejabat mau menjual potensi minyak bumi di Blok Cepu ke Amerika Serikat (AS), rakyat saling bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi? Pejabat mau membangun jalan-jalan tol dengan modal Perpres No 36/2005, maka tanah rakyat digusuri.
Pejabat sering mematut diri. Rakyat sabar, rela berkorban, dan selalu berbesar hati.
Ah, lebih baik sajak ini saya akhiri. Nanti ada yang sakit hati lagi.
(b.shambazy)
No comments:
Post a Comment