Friday, March 04, 2005

Bunga

Malam ini aku tulis puisi untukmu. Entah mengapa kata-kata terus beranak pinak begitu panjang. begitu luas dan begitu pekat seperti malam ini. Seperti ketika tiba-tiba aku merasa seluruh bentuk rindu harus aku usir pergi dan aku menetap bersamamu: Mengosongkan sisa waktu.

Engkaulah Bunga, hingga kemuadian kabut itu pernah hampir pergi walaupun tidak akan pernah benar-benar musnah.Tapi kita tak pernah tahu. Semua yang ada seperti kegelapan yang sempurna, utuh dan lengkap pada semua sisinya. Meskipun begitu, kita telah berkali-kali sepakat bahwa kesunyian adalah teman paling dekat, teman paling akrab yang selalu setia menemani kita sebagaimana engkau yang selalu bersembunyi dan bermain-main dalam anganku.

Puisiku ini bunga, adalah imajinasi yang meledak-ledak. Aku sendiri tak bisa lagi mengendalikannya.Aku tak bisa bergerak. Seakan-akan kutukan menamparku dari tempat yang begitu jauh. Seandainya saja aku bisa pergi, berjalan pelan dari lingkaranmu maka aku tidak akan berlari. Akan tetap aku nikmati indah warnamu dan aku hirup semua semerbakmu yang terbawa angin. Tidak! Aku tidak akan memungkiri bahwa engkau adalah yang terwangi di jagat ini.

Mungkin mataku tak akan bisa melihat kilatan cahaya di matamu, merah hijau dan biru yang menjadi satu.Yang selalu aku rindu. Dulu. Meskipun begitu akan tetap aku hempaskan rinduku di hangat nafasmu, akan aku tenggelamkan semua kesombongan kedalam lautan misterimu. Ya, engkau adalah misteri dan teka-teki yang tak pernah mampu aku pecahkan walau isi otakku berantakan dan daya nalarku adalah batu. Tidak akan ada jejak sejangkalpun yang akan aku tinggalkan, tempat dimana tanganmu melambai dan jarimu menunju ke langit. “ Roy, aku ingin ke sana”.

Aku bergerak bersama angin. Ku tatap langit yang engkau tunjuk. Langit yang putih, tepatnya bening. Sebening kaca yang siap merobek-robek dan menghancurkan suasana yang tercipta hingga aku terpaksa bergerak bersama angin. Berjalan jauh. Mendaki gunung dimana asal mula surga dihembuskan hingga sampai di kedua matamu. Mencari taman tempatmu kita tumbuh mekar dan mewangi bersma udara pagi dan embun sebening gelas yang berisi keyakinan kita akan masa depan saat ku katakan padamu “ Bunga, maukah engkau tumbuh mekar di dalam hatiku. Dunia seperti ini terlalu kejam untukmu”.Lalu malampun bertambah hitam. Sehitam waktu yang telah berhenti bergerak.

Engkau telah menjelma menjadi setaman bunga. hingga sampai detik terakhir aku menuliskan puisi untukmu ini, kehadiranmu adalah gelagah dan geliat dari tiap jejak yang aku buat. Tidak semua memang bisa dijawab begitu saja. Tidak semua juga aku ketahui mengapa harus ada. Pada dunia yang lain nanti, sayap-sayapku akan menghampirimu. Dari matamu kakiku akan dapat menemukan jalan menuju hatimu. Ini hanya masalah waktu. Kapan saja bisa terjadi walau kita harus mati dulu dari dunia yang pernah kita bicarakan dengan indah. Aku tak pernah memikirkan ujung dari perjalanan ini. Jangan engkau salah sangka.

Pada jarak yang ada diantara mimpi dan kenyataan, maka malam ini aku baringkan semua kenyataan juga kenangan yang pernah kita alami. Pernah kita selami sampai kedasarnya. Pada malam yang penuh bintang dan siang yang selalu menunjukkan jalan terang. Untuk sementara biarlah aku simpan kekacauan ayng semakin sengit ini. Tidak apa-apa. Sudah lama aku terbiasa.

Akan tetapi, biarkanlah aku menjadi bengal, menjadi bebal dan tak pernah mau tertib.Orang-orang bilang aku berandal dan sebagian bilang akulah petualang. Jadi biarkan aku menjadi rakus dan liar untuk mencari. Sisa-sisa jejakmu di jalan yang pernah sekali kita lalui di suatu malam sampai keujungnya. Sampai engkau menghilang di balik pintu rumah dan sebuah lukisan “bunga” yang aku minta dari dari seorang seniman sebagai hadiah ulang tahunmu engkau balas dengan ucapan “Ini untuk apa?”

1 comment:

Anonymous said...

Kalo dari tulisannya keliatannya "desperate" banget yaa...